Meski perusahaan banyak berinvestasi dalam sistem keuangan dan teknologi marketing, banyak yang masih menganggap komunikasi krisis sebagai hal sekunder. Di era yang serba terhubung ini, kelalaian seperti itu bisa menjadi kesalahan strategi terbesar mereka.

Di zaman di mana satu tweet bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi perusahaan sebelum kopi pagi habis diminum, aturan dalam komunikasi krisis telah berubah drastis.
Dalam episode terbaru podcast Real Tech Real Talk, pakar komunikasi berpengalaman, Syed Mohammed Idid, General Manager Strategic Communications & Stakeholder Engagement di West Coast Expressway sekaligus Wakil Ketua Public Relations Practitioners Society of Malaysia, mengupas realitas pahit manajemen krisis di era modern.
Revolusi digital tidak hanya mempercepat arus informasi, tetapi juga mengubah total cara organisasi bersiap, merespons, dan menghadapi krisis. Percakapan ini mengungkap bagaimana para pemasar visioner bisa memanfaatkan perubahan ini untuk menciptakan nilai jangka panjang yang luar biasa serta membangun hubungan yang lebih kuat dan bermakna dengan pelanggan di era digital.
Dulu, perusahaan masih punya waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk menyusun respons yang tepat. Tapi sekarang, semuanya bisa viral dalam hitungan menit. Syed menjelaskan bahwa krisis saat ini menyebar dengan cepat, ada ancaman dari kecerdasan buatan, dan orang-orang ingin jawaban segera. Sayangnya, banyak perusahaan masih menganggap komunikasi krisis sebagai cadangan darurat yang jarang dipakai, padahal sebenarnya ini sudah jadi hal yang sangat penting untuk dijalankan.
Dampak Percepatan Digital
Kemudahan akses informasi lewat media sosial telah menciptakan apa yang bisa disebut sebagai “digital amplification effect.” Sebuah kejadian lokal bisa berubah menjadi krisis global dalam hitungan menit, diperbesar oleh algoritma dan sistem engagement yang sering lebih mengutamakan sensasi daripada konteks. Karena itu, perusahaan harus benar-benar mengubah cara mereka dalam menghadapi dan bersiap menghadapi krisis.
Yang paling mengkhawatirkan, menurut Syed, adalah banyak perusahaan masih menggunakan strategi manajemen krisis yang sudah ketinggalan zaman. Mereka memang punya proses manajemen risiko, tapi tidak menyadari bahwa menangani krisis butuh pola pikir yang berbeda. Manajemen risiko berfokus pada situasi yang sudah diprediksi, sementara manajemen krisis modern harus siap menghadapi hal-hal yang di luar dugaan, kejadian tak terduga yang bisa mengguncang perusahaan justru karena dianggap tidak mungkin terjadi.
Munculnya Artificial Intelligence dan Deepfake
Munculnya konten buatan AI dan deepfake membuat tantangan semakin besar. Menurut Syed, “profesional komunikasi krisis saat ini tidak hanya harus menangani kejadian nyata, tetapi juga menghadapi krisis yang sengaja diciptakan.”
Hal ini menuntut pemahaman media dan teknologi yang lebih mendalam—sesuatu yang masih belum dimiliki oleh banyak perusahaan.
Solusinya bukan sekadar merespons lebih cepat, tetapi membangun strategi manajemen krisis yang lebih kuat dan menyeluruh. Berikut beberapa tips dari Syed tentang bagaimana cara melakukannya:
Persiapan Strategis dengan Simulasi Rutin
Manajemen krisis bukanlah keterampilan yang bisa dikuasai hanya dengan teori. Sama seperti atlet profesional yang tidak hanya belajar dari buku, perusahaan juga tidak bisa sekadar mengandalkan rencana tertulis. Simulasi krisis harus dilakukan secara rutin, sama seperti audit keuangan atau latihan keamanan.
Simulasi ini memiliki banyak manfaat: membantu tim membangun refleks dalam menangani krisis, menemukan kelemahan dalam prosedur yang ada, dan yang paling penting, menciptakan budaya kesiapan krisis di seluruh perusahaan. Saat krisis nyata terjadi, perbedaan antara perusahaan yang rutin berlatih dan yang tidak akan terlihat dengan jelas.
Peran CEO sebagai Pemimpin dalam Krisis
Salah satu perubahan paling penting dalam manajemen krisis modern adalah menjadikan kesiapan krisis sebagai tanggung jawab langsung CEO. Tim komunikasi mungkin berperan sebagai fasilitator, tetapi CEO harus menjadi motor utama dalam inisiatif kesiapan krisis. Ini bukan sekadar soal mendelegasikan tugas, melainkan membangun budaya di mana persiapan krisis dipandang sebagai strategi utama, bukan sekadar formalitas administratif.
Pentingnya Teknologi dalam Manajemen Krisis
Perusahaan harus memanfaatkan teknologi tidak hanya untuk merespons krisis, tetapi juga untuk mendeteksi dan mencegahnya sejak dini. Alat intelijen media dan platform social listening kini menjadi senjata utama dalam sistem peringatan dini dan analisis sentimen. Namun, teknologi ini hanya akan efektif jika digunakan oleh tim yang terampil dan didukung oleh strategi yang tepat.
Membangun Ketahanan dengan Kredibilitas
Di era informasi yang bergerak cepat dan maraknya disinformasi, kredibilitas menjadi kunci dalam komunikasi krisis. Perusahaan harus siap mengakui kejadian dengan cepat, bahkan saat informasi masih belum lengkap, sambil tetap transparan dalam proses penanganannya. Pendekatan ini membangun kepercayaan dan membantu mencegah penyebaran informasi yang salah saat krisis terjadi.
Langkah ke Depan
Ke depan, komunikasi krisis akan semakin rumit. Perpaduan antara media sosial, kecerdasan buatan, dan keterhubungan global menuntut perusahaan untuk beralih dari sekadar bereaksi menjadi lebih proaktif dalam mengelola krisis.
Perubahan ini menuntut pergeseran pola pikir besar-besaran dalam organisasi—dari menganggap komunikasi krisis sebagai sesuatu yang jarang dibutuhkan menjadi melihatnya sebagai fungsi utama bisnis yang membutuhkan perhatian, investasi, dan penyempurnaan terus-menerus.Perusahaan yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini tidak hanya akan bertahan dalam krisis, tetapi juga bangkit lebih kuat dan lebih tangguh.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi “Apakah krisis akan terjadi?” tetapi “Kapan itu terjadi, dan seberapa siap perusahaan menghadapinya?” Di dunia yang serba cepat ini, komunikasi krisis bukan hanya soal menjaga citra, tetapi juga soal keberlangsungan perusahaan. Di era di mana reputasi bisa runtuh dalam sekejap, perusahaan tidak bisa lagi beranggapan bahwa mereka kebal dari krisis.
(Artikel asli ini dipublikasikan dalam Bahasa Inggris cxpose.tech, baca sumber asli)