Teknologi baru yang terus berkembang dan kebutuhan utama dari infrastruktur IT perusahaan yang sangat penting kembali menjadi perhatian.
Gangguan terbaru pada sistem penyelesaian CHESS milik Australian Securities Exchange (ASX) menjelang Natal 2024 kembali memicu perdebatan tentang kelayakan blockchain dalam dunia bisnis. Terutama karena ASX sebelumnya telah membatalkan proyek penggantian CHESS berbasis blockchain pada akhir 2022.
Kemunduran ini, ditambah dengan mundurnya beberapa perusahaan besar dari inisiatif blockchain, menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan teknologi blockchain untuk dunia bisnis.ASX sebelumnya bermitra dengan Digital Asset Holdings untuk menggantikan platform CHESS (Clearing House Electronic Subregister System) menggunakan teknologi ledger terdistribusi. Namun, pada November 2022, ASX mengumumkan penundaan Program Penggantian CHESS untuk mengevaluasi kembali seluruh aspek proyek setelah menginvestasikan sekitar AUD 250 juta.

ASX membatalkan proyek ini karena sistemnya terlalu rumit dan sulit berkembang, masalah yang juga sering dihadapi perusahaan lain saat mencoba menerapkan teknologi blockchain. Dalam dokumen resmi, ASX menjelaskan bahwa mereka mulai mencari pengganti CHESS pada saat Teknologi Ledger Terdistribusi (DLT) mulai dikenal sebagai solusi modern yang bisa membawa inovasi dan bertahan lama. CHESS sendiri dulu dianggap sebagai sistem terbaik di dunia saat pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994.
Pada April 2018, setelah dua tahun menjalankan uji coba konsep (Proof of Concept/POC), ASX memulai konsultasi dengan industri untuk memahami kebutuhan bisnis dalam menggantikan CHESS dengan solusi berbasis DLT. Awalnya, ASX berencana meluncurkan sistem CHESS baru pada April 2021 dan mengumumkannya pada 2019. Namun, harapan tersebut pupus pada 2022 ketika proyek ini akhirnya dihentikan.
Gangguan terbaru pada sistem CHESS, meskipun tampaknya tidak terkait dengan proyek penggantian, justru kembali menyoroti dua hal penting: kelayakan teknologi baru dalam dunia bisnis dan kebutuhan dasar akan infrastruktur IT yang andal.
Blockchain untuk Perusahaan: Antara Janji dan Kenyataan
Lanskap blockchain di dunia bisnis telah berkembang pesat sejak teknologi ini mulai menarik perhatian perusahaan pada pertengahan 2010-an. Jika sebelumnya banyak perusahaan berlomba-lomba mengadopsi blockchain untuk berbagai kebutuhan, kini pendekatan yang digunakan lebih hati-hati. Perusahaan mulai berfokus pada masalah tertentu di mana keunggulan unik blockchain benar-benar dapat memberikan manfaat.
Beberapa inisiatif blockchain di dunia bisnis telah menunjukkan potensi besar, terutama dalam kasus penggunaan berikut:
- Sistem pelacakan supply chain yang diterapkan oleh peritel besar seperti Nestlé dan Samsung
- Platform pembiayaan perdagangan yang dikembangkan oleh konsorsium perbankan seperti Digital Trade Chain, we.trade, Contour, dan Marco Polo
- Solusi identitas digital di sektor kesehatan, seperti yang dikembangkan oleh Worldcoin Foundation dan ConsenSys.
Namun, banyak proyek yang akhirnya dihentikan secara diam-diam. Beberapa tantangan umum yang dihadapi antara lain:
- Kompleksitas Integrasi: Sistem blockchain sering kali memerlukan perubahan besar pada arsitektur IT perusahaan yang sudah ada.
- Alternatif yang Lebih Baik: Teknologi yang sudah tersedia ternyata lebih cocok untuk beberapa kebutuhan.
- Ketidakseimbangan Biaya dan Manfaat: Biaya penerapan dan pemeliharaan sistem blockchain terkadang lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.
Langkah ke Depan Mengadopsi Pendekatan Praktis dalam Teknologi Baru
Setelah mengikuti perkembangan program penggantian CHESS, Penny Wong dari Radmis Advisory menyatakan bahwa pengalaman ASX dalam proyek ini mengungkap satu kebenaran mendasar: proyek transformasi cenderung gagal ketika ada ketidaksesuaian antara visi dan kesiapan organisasi dalam mengadopsi serta mengintegrasikan teknologi baru ke dalam lingkungan perusahaan.

“Ketika jutaan dolar sudah dihabiskan dan reputasi perusahaan dipertaruhkan, semakin sulit bagi para pemimpin untuk mundur sejenak, mengevaluasi ulang, dan mengakui bahwa arah proyek mungkin tidak sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya, proyek terus berjalan… bukan karena memang layak, tetapi karena terlalu banyak yang sudah diinvestasikan.”
(Penny Wong)
“Kegagalan ini bukan semata-mata karena blockchain itu sendiri, tetapi mencerminkan masalah yang lebih luas terkait kesiapan di aspek manusia, proses, teknologi, dan kepatuhan. Proyek ini tidak berhasil karena organisasi belum memiliki fondasi yang cukup kuat untuk mengadopsi dan mengoperasikan visi sebesar itu. Namun, hal ini bukan kesalahan tim operasional yang menjalankan tugas sehari-hari.”
Dia juga berpendapat bahwa proyek blockchain ASX adalah contoh klasik bagaimana sebuah organisasi bisa terjebak dalam sunk cost fallacy (kesalahan berpikir akibat investasi yang sudah terlanjur besar). “Ketika jutaan dolar sudah dihabiskan dan reputasi perusahaan dipertaruhkan, semakin sulit bagi para pemimpin untuk mundur sejenak, mengevaluasi ulang, dan mengakui bahwa arah proyek mungkin tidak sesuai dengan kenyataan.”
“Sebaliknya, proyek terus berjalan… bukan karena memang layak, tetapi karena terlalu banyak yang sudah diinvestasikan.”
Praktik Terbaik
Menurut Penny, ketika sebuah perusahaan berinvestasi dalam proyek besar, investasi tersebut seharusnya selaras dengan setidaknya satu (atau lebih) dari empat pilar utama di tingkat dewan direksi untuk menghasilkan keuntungan yang terukur (ROI):
- Revenue Assurance (Jaminan Pendapatan)
- Cost Optimization and Reduction (Optimasi dan Pengurangan Biaya)
- Risk and Compliance (Manajemen Risiko dan Kepatuhan)
- Customer Experience (CX) (Pengalaman Pelanggan)
CEO Goldman Sachs pernah mengatakan kepada The Wall Street Journal, “Blockchain jauh lebih dari sekadar kripto, dan institusi keuangan yang diatur memiliki posisi yang baik untuk memanfaatkan teknologi revolusioner ini.”
Apa yang terjadi dengan ASX dan beberapa proyek lain yang dihentikan menunjukkan bahwa menerapkan prinsip ini tidak semudah yang dibayangkan.
Menyatukan tim, proses, dan teknologi itu lebih gampang diucapkan daripada dilakukan.
Penny berkomentar, “Blockchain, seperti teknologi baru lainnya, hanyalah alat, bukan strategi. Mereka menjual mimpi blockchain seperti kereta emas yang membawa keuntungan, tapi lupa membangun relnya. Bukan teknologinya yang gagal, tapi kesiapan organisasinya.Teknologi baru itu bukan sekadar colok dan pakai, apalagi di perusahaan yang masih terikat dengan sistem lama. Semuanya soal manusia, proses, dan budaya. Blockchain tidak bisa memperbaiki itu.”
Aspek Lain yang Perlu Diperhatikan dalam Proyek Transformasi Digital
Penny juga mengungkapkan bahwa saat ia menangani proyek IT yang bermasalah, ada dua departemen yang bisa membuat proyek gagal total: keamanan informasi dan hukum (karena ketidakpatuhan terhadap regulasi).
Untuk menghindari hal ini, ia menyarankan agar tim hukum dan keamanan dilibatkan sejak awal proses. “Kalau mereka diajak berdiskusi sedini mungkin, kemungkinan besar mereka nggak akan membatalkan proyek di detik-detik terakhir.”
Hal yang sama juga berlaku untuk perusahaan di industri yang diatur ketat, seperti layanan keuangan. Penny menambahkan, “Saya akan langsung berdiskusi dengan regulator sejak awal. Ini bisa mengurangi risiko proyek gagal atau dihentikan di tengah jalan.”
Kuncinya adalah mengedukasi dan membuat para pemangku kepentingan merasa nyaman dengan teknologi baru sebelum melibatkan mereka lebih jauh. Saat menerapkan teknologi baru, memastikan orang yang tepat ada di peran yang tepat juga sama pentingnya.
Penny menyimpulkan, “Kamu bisa melatih tim internal, merekrut tenaga ahli dari luar, atau bekerja sama dengan penyedia layanan. Dan yang perlu ditekankan, kerja sama ini harus bersifat kemitraan, bukan sekadar hubungan antara klien dan vendor.”
(Artikel asli ini dipublikasikan dalam Bahasa Inggris cxpose.tech, baca sumber asli)