Angka statistik dari U.S. Bureau of Labor Statistics (BLS) menunjukkan bahwa sekitar 45% startup gagal dalam lima tahun pertama. Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah ketidakmampuan mereka untuk mengembangkan produk yang benar-benar relevan dengan kebutuhan pasar. Namun, ada satu strategi yang bisa menjadi penolong, yaitu Minimum Viable Product (MVP). Meskipun konsep ini sering terdengar sederhana, penerapannya di lapangan sering kali tidak semudah yang dibayangkan.
MVP merupakan versi awal dari produk yang diluncurkan dengan fitur-fitur inti yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar pelanggan. Namun, pertanyaannya adalah, apakah startup benar-benar memahami apa yang dibutuhkan oleh pelanggan mereka?
Menurut Heribertus Hariyanto, Project Manager Emveep, banyak yang terjebak dalam ide-ide ambisius tanpa melakukan penelitian pasar yang mendalam. Dengan MVP, kita dapat melihat reaksi pasar sebelum menginvestasikan terlalu banyak dalam pengembangan. Tapi, jika startup tidak melakukan riset yang tepat sebelum peluncuran, mereka mungkin akan terperosok dalam kesalahan yang sama: membangun sesuatu yang tidak diinginkan pasar.
Umpan balik yang diterima setelah peluncuran MVP sangat penting, tetapi sering kali startup terjebak dalam kebanggaan akan produk yang mereka ciptakan, mengabaikan kritik yang konstruktif.
“Di Emveep, saya dan tim belajar dari kesalahan dan keberhasilan untuk setiap project yang kami kerjakan. Setiap iterasi produk adalah kesempatan untuk lebih memahami pelanggan,” kata Heribertus.
Namun, tidak semua startup siap untuk mendengarkan suara pelanggan, dan hal ini menjadi batu sandungan yang signifikan.
Tidak kalah pentingnya, keselarasan antara tim marketing dan tim IT merupakan faktor kunci dalam pengembangan produk yang sukses. Banyak tim marketing yang tidak cukup memahami aspek teknis produk, dan sebaliknya, tim IT seringkali kurang peka terhadap kebutuhan pasar. Kolaborasi antara kedua tim ini adalah esensi dari inovasi. Namun, jika kedua tim tidak berbagi visi yang sama, hasilnya bisa jauh dari harapan.
Peran startup studio developer kini semakin vital dalam membantu startup. Mereka menyediakan sumber daya dan keahlian yang diperlukan untuk mengembangkan produk dari nol. Salah satu contoh startup studio developer, yang telah sukses menangani berbagai proyek untuk klien dalam dan luar negeri adalah Emveep. Bukan hanya sekadar pengembang, tetapi juga mitra strategis yang membantu startup merancang dan mengimplementasikan solusi teknologi yang tepat.
Bekerja sama dengan startup studio developer memungkinkan pemilik startup untuk lebih efisien. Dalam artian, startup studio developer bisa mengandalkan keahlian mereka untuk mengatasi tantangan teknis, sementara pemilik startup berfokus pada visi dan strategi. Namun, kebergantungan berlebihan pada pihak ketiga bisa menjadi pedang bermata dua. Startup harus tetap waspada agar tidak kehilangan kendali atas visi dan strategi mereka sendiri. Tanpa pengawasan yang tepat, ada risiko bahwa keputusan penting mengenai produk bisa diambil tanpa mempertimbangkan kebutuhan bisnis inti.
“Mengadopsi pendekatan MVP, memperkuat kolaborasi antara tim marketing dan IT, serta memanfaatkan dukungan dari startup studio developer adalah langkah-langkah yang sangat diperlukan oleh startup. Namun, langkah-langkah ini tidak selalu cukup. Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, keberhasilan tidak hanya bergantung pada ide yang brilian, tetapi juga pada kemampuan untuk beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang selalu berubah. Jika ingin bertahan dan berkembang, startup harus siap untuk mendengarkan dan belajar dari pasar, bukan hanya dari hasil yang mereka inginkan.” Tambah Heribertus.
Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang tantangan ini, diharapkan lebih banyak startup dapat meraih kesuksesan dan menghindari kegagalan yang mengancam eksistensi mereka. Jika tidak, mereka akan menjadi bagian dari statistik yang menyedihkan di industri ini.